Selasa, 06 Februari 2018

TIDAK ADA SATU AGAMA




“Agama tidak akan pernah menjadi satu. Selalu saja ada dua atau tiga agama, dan selalu ada perang serta saling bunuh di antara mereka. Bagaimana bisa kamu menginginkan hanya ada satu agama? Agama tidak akan pernah menjadi satu kecuali di akhirat kelak, pada hari kiamat. Di dunia ini, ketunggalan agama adalah hal yang mustahil...”

(Maulana Jalaluddin Rumi)


Dikutip dari kitab “Fihi Ma Fihi”  Maulana Jalaluddin Rumi. 

@MEI 6 Februari 2018

Sabtu, 27 Januari 2018

‘Itikad Salikin Bagian 1



Jika kita melihat tujuan penciptaan didalam Al-Qur’an, akan kita temukan ayat yang sering telah kita hafal bersama, Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ -٥٦-

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat 56)

Ya, tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah. Ibadah bukan hanya berbentuk ritual semata. Perlu kita ingat bahwa setiap perbuatan yang dilandasi dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka itu juga termasuk ibadah. Termasuk makan, minum, mencari nafkah, semua itu bisa menjadi ibadah dan mendapatkan pahala di sisi Allah.

Tapi ibadah bukanlah tujuan akhir. Kita akan temukan tujuan yang lebih jauh dari ibadah ketika Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ -٢١-

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhan-mu yang telah Menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah 21)

Bahkan ketika Allah mewajibkan ibadah puasa, ada tujuan lain dibalik ibadah itu. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ -١٨٣-

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Al-Baqarah 183)

Takwa adalah tujuan selanjutnya dibalik ibadah. Allah memerintahkan kita untuk beribadah agar kita mencapa derajat takwa. Lalu apa untungnya jika kita telah bertakwa?

Butuh kajian khusus untuk membahas takwa, secara singkat kita akan mengutip satu ayat dari Allah swt yang menjelaskan tentang keuntungan dari takwa. Allah berfirman,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً -٢- وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ -٣-

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Membukakan jalan keluar baginya, Dan Dia Memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (At-Thalaq 2)

Namun takwa juga bukan tujuan akhir dari penciptaan. Ada tujuan akhir dibalik ketakwaan. Ketika Allah menyuruh manusia untuk beribadah agar mereka bertakwa, Allah menginginkan sesuatu dari mereka. Dan tujuan akhir dibalik ketakwaan itu adalah kesuksesan manusia itu sendiri. Allah berfirman,

وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ -١٨٩-

“Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Al-Baqarah 189)

وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ -١٣٠-

“Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Ali Imran 130)

فَاتَّقُواْ اللّهَ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ -١٠٠-

“Maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.” (Al-Ma’idah 100)

Tujuan akhir dari penciptaan manusia kembali kepada diri mereka sendiri. Apa yang diinginkan Allah dari hamba-Nya?

Allah ingin mereka menjadi orang yang sukses. Allah ingin melihat hamba-Nya mencapai kesempurnaan. Keinginan Allah ini tidak untuk menguntungkan Diri-Nya sama sekali. Semua yang di inginkan Allah dari hamba-Nya murni untuk keuntungan mereka sendiri.

Pemahaman ini begitu penting karena kita tidak akan pernah merasa terbebani dengan segala aturan Allah swt setelah meyakini hal ini. Mengapa?

Karena semua yang kita lakukan akan kembali pada diri kita sendiri. Sekecil apapun kebaikan akan kita nikmati dan sekecil apapun keburukan akan kita pertanggung jawabkan.

Namun kesuksesan itu begitu samar. Setiap kepala memiliki arti kesuksesan yang berbeda-beda. Teringat ketika tukang sihir Fir’aun hendak melawan Nabi Musa as, apa arti kesuksesan yang ada di pikiran mereka?

وَقَدْ أَفْلَحَ الْيَوْمَ مَنِ اسْتَعْلَى -٦٤-

“Dan sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini.” (Thaha 64)

Kesuksesan bagi mereka adalah menang melawan Musa a.s. dan mendapat kedudukan tinggi di sisi Raja. Namun, apa kesuksesan yang sebenarnya menurut Al-Qur’an? Apakah Allah menginginkan manusia mencampakkan dunia dan hanya mendapat kesuksesan di akhirat? Siapa sebenarnya orang yang sukses itu? Tunggu tulisan selanjutnya. 

Zawiyyah Al Qusyairiyyah 27 Januari 2018

@MEI

Sabtu, 06 Januari 2018

ADAB SEORANG HAMBA DI ALAM HIKMAH DAN ALAM QUDRAH



Imam Abu Jamrah mengomentari sabda baginda Nabi SAW

“إِذَانَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّى فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَنَاعِسٌ لاَ يَدْرِى لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ ”

Artinya: “Apabila kalian mengantuk ketika sedang shalat, maka tidurkan lah hingga rasa ingin tidur itu benar-benar telah pergi. Karena sesungguhnya ketika kalian shalat dalam keadaan ngantuk, maka dia tidak sadar, berharap untuk meminta ampunan, justru mencaci maki dirinya “HR. Bukhari), bahwa perintah baginda Nabi untuk tidur ketika mengantuk adalah mengisyaratkan untuk mengikuti peraturan alam hikmah.

Karena alam hikmah mengatakan, bahwa rasa mengantuk ini tidak akan hilang kecuali dengan tidur, adapun datangnya rasa kantuk dan rasa ingin tidur adalah merupakan penampakan qudrah. Di dunia ini, hikmah telah bersembunyi di alam qudrah, sehingga kita harus tetap mengambil asbab (sebab) untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan (akibat).

Seorang yang ingin menghilangkan rasa dahaga, tidaklah mencukupkan diri hanya dengan berdo’a, akan tetapi ambillah air dan meminumnya. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa qudrah adalah di atas hikmah, dimana Allah ketika berkehendak mampu memberikan kesembuhan tanpa berobat, memberikan rasa kenyang tanpa melalui makan, dan memasukkan hambanya ke sorga meskipun tidak melakukan ketaatan.

Karena Allah adalah maha melakukan apa yang Ia kehendaki, sebagaimana firmanNya:

“وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ ”

Artinya: “Dan ketika Allah menghukumi sesuatu, maka sesungguhnya Allah akan berkata kepadanya “jadilah”, maka akan jadi “(QS. Al Baqarah:117).

Qudratullah di atas hukum sebab akibat, karena Allah adalah Maha Kuasa. Alam qudrah ini juga disebut dengan alam “كن” yang artinya “ jadilah”, karena tanpa melalui hukum sebab akibat. Maka dari itulah alam sorga ini adalah merupakan alam qudrah, karena para penghuninya ketika menginginkan sesuatu maka ia akan mendapatkannya tanpa susah payah mengusahakannya.

Ketika ingin buah-buahan, maka tidak perlu menanamnya terlebih dahulu, begitu juga dengan semua kenikmatan surga lainnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

“وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ”

Artinya “ Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh maka mereka berada di taman-taman sorga, bagi mereka apa-apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhannya. Dan yang seperti itulah karunia yang sangat besar”(QS. As Syura:22). Wallahu A’lam.

@mei


Kamis, 04 Januari 2018

KHILAFAH & KHALIFAH



Bahasan dan tulisan ini ada di WAG Sobat Perubahan dan sebagai nara sumber adalah KH. DR. Iqbal Khalid, alumni Kuliyyatul Mu’alimin al Islamiyyah PM Darussalam Gontor, Ponorogo dan pondok Hufaz Bone serta jebolan University Al Azhar, Kairo, Mesir, jurusan Syari’ah. 

Semula memang Buya minta Kyai Iqbal dalam hal pandangan beliau tentang KHILAFAH. Terutama kaitannya dengan pendapat ulama Syarikat Islam KH. Moenawar bersama HOS Tjokroaminoto. 

Buku yang berbicara tentang Khilafah dan Khalifah Karya KH. Moenawar Khalil (Ulama Syarikat Islam Bersama HOS Cokroaminoto), yg pertama kali Terbit tahun 1968 sebelum kedatangan Hizbut Tahrir, ternyata Khilafah tidak asing bagi para ulama nusantara pada masa itu.
.
>>> http://bit.ly/2Do9DRn <<<
Silahkan download.

Penulis katakan bahwa siapa bilang kalau bicara KHILAFAH itu artinya ingin memberontak dan tidak sesuai PANCASILA? Syarikat Islam sudah sejak dulu bicara KHILAFAH.
_*Al Mukarom KH. DR. Iqbal Kilwo.... Afwan ya ustadzi... jika berkenan tolong antum bahas tentang Khilafah sesuai dengan apa yang antum pelajari di Al Azhar dan mungkin bisa dikaitkan dengan buku tentang Khilafah menurut versi KH. Moenawar Khalil seorang ulama di Syarikat Islam. Jazaakallah khairan katsiran wa Jazaakallah ahsanul jaza.*_ 🙏



Rabu, 03 Januari 2018

AURAT SEORANG RIJAL DALAM MADZHAB SYAFI’I

Penulis ketika di Masjid Jami New Delhi bersama seorang tholabul ‘ilm Indra Budiman belasan tahun lalu.

Aurat seorang Rijal dalam madzhab Syafi’i

Manakah saja aurat seorang Rijal (lelaki)? Sekarang kita akan melihat bahasan tersebut dengan melihat berbagai pendapat dalam madzhab Syafi’i.

Aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ

Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).


Tidak boleh memandang aurat satu dan lainnya, termasuk sesama pria. Dalam hadits disebutkan,

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki yang lain. Janganlah pula wanita melihat aurat wanita yang lain.” (HR. Muslim no. 338).


Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa aurat itu berarti kurang, aib dan jelek. (Al Majmu’, 3: 119).

Imam Nawawi menyatakan pula bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia dan ini adalah ijma’ (kata sepakat ulama).

Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa aurat pada laki-laki ada lima pendapat dalam madzhab Syafi’i.


Pertama, yang lebih tepat dan didukung dalil yang kuat, aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Pusar dan lutut tidak termasuk aurat.

Syaikh Abu Hamid menyatakan bahwa terdapat perkataan dari Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Imla’ bahwa aurat laki-laki termasuk budak laki-laki adalah antara pusar dan lutut, pusar dan lutut tidak termasuk aurat.

Kedua, pusar dan lutut termasuk dalam aurat.

Ketiga, pusar aurat, sedangkan lutut tidak termasuk aurat.

Keempat, pendapat Ar Rofi’i, lutut termasuk aurat, sedangkan pusar tidak termasuk.

Kelima, yang termasuk aurat hanyalah kemaluan dan dubur saja. Pendapat terakhir ini adalah pendapat Abu Sa’id Al Ishtikhri sebagaimana diceritakan oleh Ar Rofi’i. Ini adalah pendapat yang mungkar. (Al Majmu’, 3: 121)

Pendapat yang lebih tepat dalam hal ini, aurat lelaki adalah antara pusar dan lutut sedangkan pusar dan lutut tidak termasuk aurat. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah yang lebih tepat. Sebagaimana dikemukakan oleh Asy Syairozi, dalil pendukungnya adalah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusarnya hingga lututnya.” (Al Majmu’, 3: 120-121).


Disadur dari beberapa kitab kitab fiqh.

Zawiyyah Al Qusyairiyyah, 15 Rabiul Akhir 1439 H

@MEI

Jumat, 29 Desember 2017

SOMBONG KEPADA YANG SOMBONG

Penulis bersama KH Abdullah Gymnastiar Desember 2017.


Bismillahirrohmanirrohim. 

Ada orang yang bertanya kepada Buya kenapa UAS atau Ustadz Abdul Somad mengatakan dalam salah satu ceramahnya bahwa “Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah”, kalau boleh tahu hadist dari mana itu Buya? 

Memang ada Qaul Ulama yang cukup masyhur,

التكبر على المتكبر صدقة

Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah.”

Dalam keterangan yang lain,

التكبر على المتكبر حسنة

Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah perbuatan baik.”

Penyataan di atas bukanlah hadis, melainkan qaul ulama.  Syaikh Al-Ajluni dalam kitabnya, Kasyful Khafa, dengan menukil keterangan dari Syaikh Ali Al-Qariy. Kemudian, Syaikh Al-Qariy mengatakan, “Hanya saja, maknanya sesuai dengan keterangan beberapa ulama.”

Dalam kitab Bariqah Mahmudiyah dikatakan, “Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah, karena jika kita bersikap tawadhu di hadapan orang sombong maka itu akan menyebabkan dirinya terus-menerus berada dalam kesesatan. Namun, jika kita bersikap sombong maka dia akan sadar. Ini sesuai dengan nasihat Imam Syafi’i, ‘Bersikaplah sombong kepada orang sombong sebanyak dua kali.’ . Imam Az-Zuhri mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada pecinta dunia merupakan bagian ikatan Islam yang kokoh.’. Imam Yahya bin Mu’adz mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada orang yang bersikap sombong kepadamu, dengan hartanya, adalah termasuk bentuk ketawadhuan.'”

Sementara, ulama yang lain mengatakan, “Terkadang bersikap sombong kepada orang yang sombong, bukan untuk membanggakan diri, termasuk perbuatan terpuji. Seperti, bersikap sombong kepada orang yang kaya atau orang bodoh (yang sombong).”

Buya sendiri pertama kali mendengar qaul ini dari haji Ridwan Saidi di tahun 2000. Beliau sendiri mengatakan bahwa itu qaul terkenal dikalangan ulama jaman dulu di tanah Betawi ini. Bukan hadits nabi, namun ucapan tersebut juga benar secara makna.

Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad berkata:

هو من كلام الناس قاله الرازى

Ini adalah termasuk perkataan manusia, seperti dikatakan oleh Ar Razi. (Asnal Mathalib)

Tetapi, secara makna benar. Imam Ali Al Qariy Rahimahullah berkata:

قال الرازى هو كلام مشهور قلت لكن معناه مأثور

Ar Razi berkata ini adalah perkataan terkenal. Aku (Ali Al Qariy) berkata: Tetapi maknanya ma’tsur (sesuai Sunnah). (Al Asrar Al Marfu’ah)

Jadi, secara makna benar, bahwa bersikap sombong kepada orang sombong adalah sedekah buat dia, yaitu agar dia tidak terus-menerus berbuat sombong. Sebagaimana kesombongan tukang sihir Fir’aun yang ditumbangkan oleh mu’jizat Nabi Musa ‘Alaihissalam, sehingga membuat mereka tersadar.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizahullah mengatakan (mengutip dari kitab Bariqah Mahmudiyah):

التكبر على المتكبر صدقة، لأنه إذا تواضعت له تمادى في ضلاله وإذا تكبرت عليه تنبه، ومن هنا قال الشافعي تكبر على المتكبر مرتين، وقال الزهري التجبر على أبناء الدنيا أوثق عرى الإسلام، وعن أبي حنيفة رحمه الله تعالى أظلم الظالمين من تواضع لمن لا يلتفت إليه، وقيل قد يكون التكبر لتنبيه المتكبر لا لرفعة النفس فيكون محموداً كالتكبر على الجهلاء والأغنياء، قال يحيى بن معاذ: التكبر على من تكبر عليك بماله تواضع.

Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah, sebab jika kita bersikap tawadhu di hadapan orang sombong maka itu akan menyebabkan dia terus-menerus berada dalam kesesatan. Namun, jika kita bersikap sombong kepadanya maka dia akan sadar. Ini sesuai dengan nasihat Imam Syafi’i, ‘Bersikap sombonglah kepada orang sombong sebanyak dua kali.’ Imam Az-Zuhri mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada pecinta dunia adalah bagian dari ikatan Islam yang kokoh.’ Imam Yahya bin Mu’adz mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada orang yang sombong kepadamu, dengan hartanya, adalah termasuk bentuk ketawadhuan.’

Demikian. Wallahu a’lam bishshowab. 

Zawiyah Al Qusyairiyyah,10 Rabiul Akhir 1439 H

@MEI



Kamis, 28 Desember 2017

MEMILIH PEMIMPIN DALAM ISLAM

Ketika UMMAT memilih Amir atau Pemimpin mereka.



KEPEMIMPINAN adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang membahas tentang ini. Hal ini bisa dimengerti. Karena pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu masyarakat.

Dalam Islam, semua persoalan yang menyangkut kehidupan ummat manusia telah ada aturannya yang sangat jelas dan detail. Sebagai contoh adalah aturan (syariat) tentang bagaimana tata cara bersuci (istinja’) dari najis saat buang air besar/kecil dan bersuci dari hadats (kentut, mandi junub). Demikian juga tata krama (‘adab)  saat bersin, makan, minum, tidur, buang air dan seterusnya.

Padahal ini menyangkut hal yang dampaknya bersifat sangat individual. Karena itu sangat logis jika dalam persoalan yang lebih besar dan luas dampaknya, Islam juga sangat peduli. Contohnya soal kepemimpinan ini. Hal ini karena aspek kepemimpinan ini luar biasa sangat besar dampaknya bagi kehidupan seluruh rakyat (ummat) di suatu negeri.

Hadits Nabi  berikut ini sebagai salah satu bukti begitu seriusnya Islam memandang persoalan kepemimpinan ini. Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

 “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Hadits ini secara jelas memberikan gambaran betapa Islam sangat memandang penting persoalan memilih pemimpin. Itulah sebabnya ketika Buya melakukan kerja Da’wah ke berbagai belahan dunia ini maka selalu dipilih Amir Shaf pemimpin jamaah dalam perjalanan da’wah. Hadits ini memperlihatkan bagaimana dalam sebuah kelompok Muslim yang sangat sedikit (kecil) pun, Nabi  memerintahkan seorang Muslim agar memilih dan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.

Kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah sesaat pasca wafatnya Rasulullah adalah bukti lain betapa pentingnya arti kepemimpinan ini dalam Islam. Saat jasad Nabi  yang belum lagi dimakamkan, para sahabat lebih mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi  daripada menyelenggarakan jenazah beliau yang agung dan mulia.

Salah satu bagian dari topik kepemimpinan yang banyak dibahas dalam al-Quran adalah soal memilih non Muslim bagi kaum Muslimin. Al-Quran telah memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk bagi kaum Muslimin agar tepat dalam memilih figur seorang pemimpin. Al-Quran dengan sangat benderang saat menjelaskan larangan memilih pemimpin non Muslim ini.

Tidak cukup dengan kalimat bernada anjuran, ayat-ayat yang menjelaskan soal ini bahkan disampaikan dengan bahasa perintah dan larangan yang sangat tegas. Tidak hanya sampai di sana,  beberapa ayat bahkan disertai  dengan  ancaman yang sangat serius  bagi  yang  melanggarnya.

Kesepakatan para ulama salaf dalam memahami ayat-ayat tersebut juga menunjukkan bahwa ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin non Muslim bagi kaum Muslimin telah menunjukkan derajat mutawattir (disepakati), sehingga tidak muncul perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan mereka. Jikapun ada beberapa pendapat yang berbeda yang membolehkan memilih pemimpin non Muslim, itu umumnya difatwakan oleh generasi muta’akhirinsaat ini, bukan dari kalangan ulama salaf. Karena itu, pemahaman demikian biasanya hanya dipandang   sebagai   pemahaman  yang   nyeleneh  (syadz)  di kalangan para ulama ahli fiqh, bahkan batil.

Fakta-fakta ini sekali lagi,  memperlihatkan bahwa persoalan memilih pemimpin itu merupakan salah satu persoalan yang dipandang sangat penting dalam pandangan Islam. Karena memilih pemimpin itu tidak  hanya mencakup dimensi duniawi, lebih dari itu juga memiliki dimensi akidah (ukhrowi). Karenanya, tidak selayaknya seorang Muslim masih menggunakan dasar dan acuan lain selain yang telah jelas dan tegas disebutkan dalam kitab sucinya al-Quran, jika mereka benar-benar mengaku orang yang beriman.

Definisi Pemimpin

Banyak definisi pemimpin yang sering dipakai di dalam kehidupan sehari-hari. Jika merujuk pada ayat-ayat yang berbicara tentang larangan memilih pemimpin kafir/non Muslim, kata pemimpin yang digunakan dalam ayat-ayat tersebut merujuk pada pengertian seseorang yang memegang dan menguasai suatu wilayah kaum Muslimin. Dengan kata lain pemimpin yang dimaksud di sini bermakna pemimpin yang kekuasaannya bersifat kewilayahan dan memiliki wewenang penuh atas wilayah kaum Muslimin secara penuh.

Bisa juga jika dijabarkan lebih jauh, maka definisi pemimpin di sini dapat juga bermakna seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu, wilayah-wilayah yang dikuasai oleh mayoritas non Muslim tidak masuk dalam pengertian/definisi ini. Selain itu, sifat kewilayahan ini juga bermakna bahwa boleh memilih non Muslim dalam aspek-aspek yang tidak menguasai wilayah kaum Muslimin atau tidak menguasai dan menyangkut urusan yang sangat besar dampaknya dan  strategis bagi ummat Islam.

Dalil-dalil al-Quran 

Berikut  ini    ayat- ayat  al-Quran  yang  menunjukkan  dengan  jelas  larangan  memilih pemimpin non Muslim bagi wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang artinya:

Pertama;

لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah  orang-orang  mukmin  mengambil  orang-orang  kafir  menjadi  WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS:  Ali Imron [3]: 28)

Kedua; 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS:  An Nisa’ [4]: 144)

Ketiga;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Hai   orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  mengambil  orang-orang  yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu).  Dan  bertakwalah kepada Allah  jika  kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS:  Al-Ma’aidah [5]: 57)

Keempat;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu   menjadi   WALI   (pemimpin/pelindung)   jika   mereka   lebih   mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)

Lima;

لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa  puas terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa  sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS:  Al Mujaadalah [58] : 22)

Enam;

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً

الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً

“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)

Masih ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menegaskan larangan memilih non Muslim (kafir) sebagai bagi kaum Muslimin yang juga menggunakan pilihan kata WALI sebagaimana ayat di atas. Di antara ayat-ayat tersebut adalah : QS. Al Maidah: 51, QS Al-Maidah: 80-81, QS Al-Mumtahanah: 1 dsb.

Dari beberapa ayat di atas, Allah Subhanahu Wata’ala menggunakan pilihan kata pemimpin dengan kata WALI. Padahal ada begitu banyak padanan kata pemimpin dalam bahasa arab selain kata wali. Misalnya kata Aamir, Raa’in, Haakim, Qowwam, Sayyid dsb. Mengapa Allah gunakan pilihan kata pemimpin dalam tersebut dengan kata WALI?

Jawabnya adalah karena barangkali secara bahasa, kata Waliy (WALI) ini memiliki akar kata yang sama dengan kata wilaayatan(wilayah/daerah). Karena itu, penggunakan kata waliy dalam berbagai ayat di atas mengindikasikan bahwa definisi pemimpin yang dimaksud ayat-ayat di atas adalah pemimpin yang bersifat kewilayahan. Dengan kata lain, non Muslim yang dilarang umat Islam memilihnya menjadi pemimpin adalah pemimpin yang menguasai suatu wilayah milik kaum Muslimin.

Dari penjelasan ini maka batasan pemimpin non Muslim (kafir) yang seorang Muslim haram memilihnya adalah yang bersifat memangku/menguasai wilayah kaum Muslimin. Semisal lurah, camat, bupati, gubernur maupun presiden.


Markaz 9 Rabiul Akhir 1439 H (28 Desember 2017)


@MEI