“Berilmu lah sebelum berbicara, bersikap, dan bertindak. Diam adalah kehati hatian. Perhatikan darimana engkau ambil kabar berita. Periksa siapa yang berbicara, dan telitilah mana yang benar dan mana yang salah!”
JAKARTA, 28 Juli 2016
MEI
Istilah murid (Salik) di dalam thariqah adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid tertentu dari aliran thariqahnya. Yang telah ber-bai'at kepada seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thariqah. Di dalam dunia thariqah hubungan seorang murid dengan guru mursyidnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hubungan tersebut tidak hanya sebatas kehidupan dunia ini.
“Berilmu lah sebelum berbicara, bersikap, dan bertindak. Diam adalah kehati hatian. Perhatikan darimana engkau ambil kabar berita. Periksa siapa yang berbicara, dan telitilah mana yang benar dan mana yang salah!”
JAKARTA, 28 Juli 2016
MEI
Masalah Khilafiyah, Bagaimana Harus Bersikap?
Masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama. Terkadang ketidaksepakatan itu hanya pada tataran yang sempit, bahkan seringkali hanya perbedaan penggunaan istilah. Tapi tidak jarang pula tataran perbedaannya luas, yaitu antara halal dan haram.
Munculnya perbedaan pendapat tentang hukum suatu masalah sebenarnya hak para ulama saja. Sebab mereka itulah yang punya alat dan otoritas untuk menyimpulkan sebuah hukum agama. Kita sebagai orang awam, tentu tidak punya perangkat dan alatnya, juga tidak punya spesifikasi yang minimal untuk melakukan pengambilan kesimpulan hukum.
Sayangnya, seringkali perbedaan pendapat itu justru dilakukan oleh mereka yang tidak punya kapasitas keilmuwan khusus dalam istimbath hukum.
Seringkali orang yang tidak mengerti ilmu kecuali hanya sekedar bertaklid kepada seorang tokoh, tiba-tiba dengan beraninya mencaci-maki para ulama sambil menuduh mereka ahli bid'ah. Padahal dia sendiri tidak paham apa yang sedang dikatakannya.
Tidak jarang orang-orang awam itu hanya punya ilmu sebatas apa yang gurunya sampaikan, akan tetapi seolah-olah dia berlagak seperti ulama betulan, sambil menyalahkan semua hal yang sekiranya tidak sama dengan pendapat gurunya. Orang seperti ini tidak lain adalah muqallid yang jahil serta tidak punya tata-adab sebagai ulama.
Bahkan perlu diketahui, tidak semua orang yang pernah belajar agama, memiliki kapasitas di bidang menarik kesimpulan hukum. Orang yang sekedar mempelajari ilmu tafsir misalnya, tentu punya ilmu yang luas dalam masalah makna ayat-ayat Al-Quran, namun bukan berarti dia punya kemampuan dalam menarik kesimpulan hukum. Demikian juga orang yang mendalami ilmu kritik hadits, tentu piawai untuk menilai keshahihan suatu hadits, akan tetapi kepiawaiannya itu bukan pada bidang metode pengambilan kesimpulan hukum. Apalagi orang yang belajar sastra arab dan bidang tata bahasa (ilmu nahwu), tentu bukan bidangnya bila harus menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Ilmu dan metodologi dalam menarik kesimpulan hukum itu adalah ilmu yang dipelajari oleh mereka yang belajar di fakultas syariah. Dengan berbagai disiplin ilmu pendukung seperti ilmu fiqih sendiri sebagai dasar, ilmu ushul fiqih sebagai metodologi, ilmu mantiq sebagai logika, ilmu qawa'id fiqhiyah sebagai penunjang. Selain itu mereka pun harus memahami ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu lughah arabiyah dengan beragam cabangnya.
Sebab tugas mereka adalah menelusuri semua dalil dan berserakan lalu membangunnya menjadi sebuah hujjah dan menarik kesimpulan hukumnya. Jadi memang perlu memiliki banyak cabang disiplin ilmu yang menunjang tugasnya.
Sayangnya, seringkali orang yang bukan pada kapasitasnya itu berdebat tentang masalah yang mereka tidak menguasainya. Akibatnya mudah diterka, masalah akan semakin rumit di tangan orang yang tidak paham.
Sebaliknya, kita bila saksikan bagaimana indahnya para ulama di masa lalu memperbincangkan perbedaan pendapat. Tidak ada caci maki, apalagi saling ejek atau saling tuduh ahli bid'ah. Sebab masing-masing sadar bahwa argumen temannya itu tidak bisa dipatahkan begitu saja. Meski dirinya lebih yakin dengan kekuatan argemumentasi sendiri, tapi tetap saja menaruh hormat yang tinggi kepada pendapat orang lain. Rupanya, semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadhhu' jiwa mereka.
Cirebon, 30/09/1437 H
MEI