Minggu, 12 Maret 2017

Fungsi Masjid Dijaman Rasulullah SAW.

 
Gambar ilustrasi Masjid di Gontor 2 Madusari, Ponorogo.

Masjid tidak hanya sebagai tempat shalat, tapi juga mendalami ilmu Islam, musyawarah, hingga pusat budaya dan iptek kaum Muslim.

MASJID atau mesjid adalah rumah ibadah umat Islam. Fungsi utamanya adalah sebagai tempat shalat berjamaah, termasuk shalat Jumat.

Secara bahasa, masjid berasal dari akar kata Arab, sajada, yang artinya sujud. Masjid artinya tempat sujud, yakni shalat. 

Dalam perspektif Islam, setiap tempat yang dijadikan tempat shalat bisa disebut masjid. Rasulullah Saw menyatakan, bumi adalah masjid bagi umat Islam. Artinya, kaum Muslim tidak selalu harus di masjid jika hendak shalat, tapi bisa di mana pun selama tempatnya suci dan kondusif untuk shalat.

"Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku: aku dimenangkan dengan perasaan takut yang menimpa musuhku dengan jarak sebulan perjalanan, bumi dijadikan bagiku sebagai mesjid dan suci, siapa pun dari umatku yang menjumpai waktu shalat, maka shalatlah….” (HR Bukhari)

Masjid di Zaman Rasulullah Saw 
Masjid adalah bangunan pertama yang didirikan Rasulullah Saw saat tiba di Yatsrib (Madinah) dalam peristiwa hijrah, yaitu Masjid Quba, yang hingga kini masih berdiri kukuh di Kota Madinah, Arab Saudi.

Setelah Masjid Quba, Nabi Muhammad Saw dan para sahabat mendirikan Masjid Nabawi pada 18 Rabiul Awal tahun pertama Hijriah. Masjid Nabawi bisa dikatakan "menyatu" dengan kediaman beliau Saw.

Pada masa itu, bentuk Masjid Nabawi sangat sederhana, yakni berdinding batu bata. Bagian sebelah utara diberi atap dan pada awalnya bagian utara adalah kiblat, yaitu Bayt Al-Maqdis

Di sebelah utara dibuat serambi untuk tempat shalat yang bertiang pohon kurma, beratap datar dari pelepah dan daun kurma, bercampurkan tanah liat. 

Di tengah-tengah ruang terbuka dalam masjid yang kemudian biasa disebut sahn, terdapat sebuah sumur tempat wudhu. Kebersihan terjaga, cahaya matahari dan udara dapat masuk dengan leluasa. 

Ketika arah kiblat diubah dari Baitul Maqdis (Yerusalem) ke Ka'bah di Mekkah, maka sebagian sebelah selatan diberi atap pula. 

Tetapi, atap bagian utara tidak dibuka karena di bagian itu dijadikan tempat berlindung dan menginap Ahl Al-Shuffah atau kaum muhajirin yang meninggalkan harta kekayaan mereka di Makkah dan turut hijrah dengan Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Di tempat kediaman yang baru ini mereka tidak memiliki apa-apa.

Di bagian sebelah timur dari masjid itu, pada mulanya ada dua ruangan kecil untuk untuk kedua istri Nabi Muhammad SAW, Saudah dan Aisyah. 

Pintunya di sebelah barat dan orang yang ke luar dari ruangan tersebut langsung terhubung ke dalam ruangan masjid. Kemudian didirikan lagi tujuh rumah kecil yang serupa untuk istri Nabi Muhammad yang lainnya.

Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa masjid berfungsi tidak hanya untuk melakukan ibadah semata, tetapi juga tempat berlindung dan menginap bagi Ahl Al-Suffah dan rumah tempat tinggal bagi Rasulullah dan keluarga. 

Fungsi Masjid
Dengan berkembangnya umat Islam di Madinah dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat kota dan kemudian menjadi negara, fungsi masjid bertambah.

Di masjid itulah, Rasulullah Saw menyempaikan ajaran Islam, nasihat, dan pidatonya kepada umat Islam. Di sinilah kemudia beliau bertindak sebagai hakim dan memutuskan persengketaan-persengketaan di kalangan umat. 

Disinilah pula Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabat. Beliau mengatur siasat perang dan siasat bernegara pun di masjid.

Ringkasnya, Masjid Nabawi menjadi pusat pemerintahan militer dan sipilnya.

Keadaan tidak banyak berubah setelah Beliau wafat. Masjid madinah tetap merupakan pusat kegiatan pemerintahan.

Di sanalah Abu Bakar menerima bai'ah (pengangkatan sebagai khalifah) setelah disetujui dalam pertemuan di Saqifah Bani Saidah untuk menjadi pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW.

Masjid-masjid yang didirikan di daerah-daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam tidak lama setelah Nabi Muhammad SAW wafat, mempunyai fungsi yang tidak banyak berbeda dengan fungsi masjid di Madinah. 

Masjid-masjid itu tetap sebagai pusat pemerintahan dalam bidang sipil dan militer. Sewaktu kota Basrah didirikan pada 635 M sebagai markas militer, sebuah masjid ikut didirikan di tengah-tengahnya dengan tempat tinggal sang panglima yang saling berhadap-hadapan. 

Demikian pula di Kufah, suatu tempat dekat Basrah. Bentuk lanskapnya didirikan serupa seperti di Basrah atas permintaan Khalifah Umar bin Khatab.

Tempat tinggal panglima, kemudian disatukan dengan masjid Kufah. Pola yang dipakai Amir bin Al-Ash dalam mendirikan fustat di Mesir sama dengan pola Basrah dan Kufah. Rumah panglima, seperti tempat tinggal Rasulullah berada di sebelah timur. Masjid-masjid tersebut tetap sebagai tempat kegiatan panglima, sebagai penguasa sipil dan militer.
Dalam perkembangan selanjutnya, tempat tinggal amir atau gubernur tetap berada di dekat masjid, dan masjid tetap merupakan tempat kegiatan pemerintahan. Tempat tinggal amir tidak bisa jauh dari masjid.
Perubahan terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Ketika Bagdad dibangun pada 762 M., didirikan istana sebagai pusat kegiatan pemerintahan. Masjid tidak lagi merupakan pusat kegiatan politik dan militer. 

Tetapi, masjid terus merupakan tempat khalifah atau amir menyampaikan pengumuman-pengumuman penting kepada rakyat. Lambat laun Masjid putus hubunganya dengan kegiatan politik, dan mulai menjadi pusat peribadatan dan ilmu pengetahuan saja.

Dalam perkembangan selanjutnya, fungsi pokok yang tinggal bagi masjid ialah fungsi menampung kegiatan sholat. Dan pada masa sekarang fungsi masjid menjadi semakin terbatas, yakni sholat Jumat dan sholat tarawih pada bulan Ramadhan.

Lima Fungsi Masjid
Terdapat lima fungsi Masjid pada zaman Rasulullah SAW. Hal ini berarti Masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah saja seperti yang selama ini dilakukan di Indonesia.
Ada lima fungsi Masjid di zaman Rasulullah SAW, yakni:
  1. Tempat ibadah 
  2. Pembelajaran. 
  3. Tempat musyawarah
  4. Merawat orang sakit
  5. Asrama/pondok
Pada zaman Rasulullah SAW, Masjid berfungsi sebagai pusat budaya dan ilmu pengetahuan. 
Kelima fungsi atau aktivitas itu bisa dijalankan apabila dibangun di sekitar bangunaan Masjid.

Pdk Zawiyah Al Qusyairiyyah, 12 Jumadil Akhir 1438

MEI 

Sumber: Dari berbagai kitab Tarikh di Fakuitas Syariah.



Menyolatkan Jenazah Munafikun?

  Gambar ilustrasi sholat jenazah


Seseorang yang menampakkan keislaman maka berlaku padanya hukum-hukum Islam yang zhahir (tampak), semacam pernikahan, warisan, dimandikan dan dishalati, dan dikuburkan di pekuburan muslimin, dan yang semacamnya.

Adapun yang mengetahui adanya kemunafikan dan kezindiqan pada dirinya (mayit), dia tidak boleh menyolatinya, walaupun si mayit (dahulunya) menampakkan keislaman. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk menyolati orang-orang munafik. Firman-Nya:

وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At-Taubah: 84)

سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ

“Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka.” (Al-Munafiqun: 6)

Adapun yang menampakkan kefasikan bersamaan dengan adanya iman pada dirinya, seperti para pelaku dosa besar, maka sebagian muslimin tetap diharuskan menyolati (jenazah) mereka. Tapi (bila) seseorang tidak menyolatinya dalam rangka memperingatkan orang-orang yang semacamnya dari perbuatan seperti itu, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyolati seseorang yang mati bunuh diri, orang yang mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi, serta yang mati meninggalkan hutang dan tidak memiliki (sesuatu) untuk membayarnya, juga sebagaimana dahulu banyak dari kalangan salaf (pendahulu) berhalangan untuk menyolati ahli bid’ah, maka pengamalannya terhadap sunnah ini bagus.

Dahulu putra Jundub bin Abdillah Al-Bajali berkata kepada ayahnya: “Aku semalam tidak dapat tidur karena kekenyangan.” Jundub radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Seandainya kamu mati maka aku tidak mau menyolatimu.” Seolah Jundub mengatakan: “Kamu bunuh dirimu dengan kebanyakan makan.”

Yang semacam ini sejenis dengan pemboikotan terhadap orang-orang yang menampakkan dosa besar agar mereka mau bertaubat. Bila perlakuan semacam ini membuahkan maslahat yang besar maka sikap itu baik.

Barangsiapa tetap menyolatinya dengan mengharapkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya, sementara jika dia tidak menyolatinya juga tidak ada maslahat yang besar, maka sikap yang demikian juga baik.

Atau, seandainya dia menampakkan bahwa dia tidak mau menyolatinya namun tetap mendoakannya walaupun tidak menampakkan doanya -untuk menggabungkan dua maslahat- maka memadu dua maslahat lebih baik daripada meninggalkan salah satunya.
Orang yang tidak diketahui kemunafikannya sedangkan dia adalah seorang muslim, boleh memintakan ampunan untuknya. Bahkan itu disyariatkan dan diperintahkan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”(Muhammad: 19)

Semua orang yang menampakkan dosa besar, boleh dihukum dengan diboikot dan cara yang lain, sampai pada mereka yang bila di-hajr (boikot) akan mengakibatkan maslahat yang besar. Sehingga dihasilkanlah maslahat yang syar’i dalam sikap tersebut semampu mungkin.

Billahi Fii Sabilil Haq.

Zawiyah Al Qusyairiyyah, 12 Jumadil Akhir 1438 H

MEI

*Dikutip dari Kitab Majmu' Fatawa jilid 24 halaman 255-288.

 

Foto diatas adalah  Kitab Majmu' Fatawa dari Syaikhul Islam Ibn Taimiyya.