Istilah murid (Salik) di dalam thariqah adalah sebutan yang diberikan kepada seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir dari seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid tertentu dari aliran thariqahnya. Yang telah ber-bai'at kepada seorang guru mursyid untuk mengamalkan wirid thariqah. Di dalam dunia thariqah hubungan seorang murid dengan guru mursyidnya merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, karena hubungan tersebut tidak hanya sebatas kehidupan dunia ini.
Selasa, 06 Februari 2018
TIDAK ADA SATU AGAMA
Sabtu, 27 Januari 2018
‘Itikad Salikin Bagian 1
Jika kita melihat tujuan penciptaan didalam Al-Qur’an, akan kita temukan ayat yang sering telah kita hafal bersama, Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ -٥٦-
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat 56)
Ya, tujuan manusia diciptakan adalah untuk beribadah. Ibadah bukan hanya berbentuk ritual semata. Perlu kita ingat bahwa setiap perbuatan yang dilandasi dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, maka itu juga termasuk ibadah. Termasuk makan, minum, mencari nafkah, semua itu bisa menjadi ibadah dan mendapatkan pahala di sisi Allah.
Tapi ibadah bukanlah tujuan akhir. Kita akan temukan tujuan yang lebih jauh dari ibadah ketika Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ -٢١-
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhan-mu yang telah Menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah 21)
Bahkan ketika Allah mewajibkan ibadah puasa, ada tujuan lain dibalik ibadah itu. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ -١٨٣-
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(Al-Baqarah 183)
Takwa adalah tujuan selanjutnya dibalik ibadah. Allah memerintahkan kita untuk beribadah agar kita mencapa derajat takwa. Lalu apa untungnya jika kita telah bertakwa?
Butuh kajian khusus untuk membahas takwa, secara singkat kita akan mengutip satu ayat dari Allah swt yang menjelaskan tentang keuntungan dari takwa. Allah berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً -٢- وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ -٣-
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Membukakan jalan keluar baginya, Dan Dia Memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (At-Thalaq 2)
Namun takwa juga bukan tujuan akhir dari penciptaan. Ada tujuan akhir dibalik ketakwaan. Ketika Allah menyuruh manusia untuk beribadah agar mereka bertakwa, Allah menginginkan sesuatu dari mereka. Dan tujuan akhir dibalik ketakwaan itu adalah kesuksesan manusia itu sendiri. Allah berfirman,
وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ -١٨٩-
“Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Al-Baqarah 189)
وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ -١٣٠-
“Dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.” (Ali Imran 130)
فَاتَّقُواْ اللّهَ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ -١٠٠-
“Maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.” (Al-Ma’idah 100)
Tujuan akhir dari penciptaan manusia kembali kepada diri mereka sendiri. Apa yang diinginkan Allah dari hamba-Nya?
Allah ingin mereka menjadi orang yang sukses. Allah ingin melihat hamba-Nya mencapai kesempurnaan. Keinginan Allah ini tidak untuk menguntungkan Diri-Nya sama sekali. Semua yang di inginkan Allah dari hamba-Nya murni untuk keuntungan mereka sendiri.
Pemahaman ini begitu penting karena kita tidak akan pernah merasa terbebani dengan segala aturan Allah swt setelah meyakini hal ini. Mengapa?
Karena semua yang kita lakukan akan kembali pada diri kita sendiri. Sekecil apapun kebaikan akan kita nikmati dan sekecil apapun keburukan akan kita pertanggung jawabkan.
Namun kesuksesan itu begitu samar. Setiap kepala memiliki arti kesuksesan yang berbeda-beda. Teringat ketika tukang sihir Fir’aun hendak melawan Nabi Musa as, apa arti kesuksesan yang ada di pikiran mereka?
وَقَدْ أَفْلَحَ الْيَوْمَ مَنِ اسْتَعْلَى -٦٤-
“Dan sungguh beruntung orang yang menang pada hari ini.” (Thaha 64)
Kesuksesan bagi mereka adalah menang melawan Musa a.s. dan mendapat kedudukan tinggi di sisi Raja. Namun, apa kesuksesan yang sebenarnya menurut Al-Qur’an? Apakah Allah menginginkan manusia mencampakkan dunia dan hanya mendapat kesuksesan di akhirat? Siapa sebenarnya orang yang sukses itu? Tunggu tulisan selanjutnya.
Zawiyyah Al Qusyairiyyah 27 Januari 2018
@MEI
Sabtu, 06 Januari 2018
ADAB SEORANG HAMBA DI ALAM HIKMAH DAN ALAM QUDRAH
Imam Abu Jamrah mengomentari sabda baginda Nabi SAW
“إِذَانَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّى فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَنَاعِسٌ لاَ يَدْرِى لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ ”
Artinya: “Apabila kalian mengantuk ketika sedang shalat, maka tidurkan lah hingga rasa ingin tidur itu benar-benar telah pergi. Karena sesungguhnya ketika kalian shalat dalam keadaan ngantuk, maka dia tidak sadar, berharap untuk meminta ampunan, justru mencaci maki dirinya “HR. Bukhari), bahwa perintah baginda Nabi untuk tidur ketika mengantuk adalah mengisyaratkan untuk mengikuti peraturan alam hikmah.
Karena alam hikmah mengatakan, bahwa rasa mengantuk ini tidak akan hilang kecuali dengan tidur, adapun datangnya rasa kantuk dan rasa ingin tidur adalah merupakan penampakan qudrah. Di dunia ini, hikmah telah bersembunyi di alam qudrah, sehingga kita harus tetap mengambil asbab (sebab) untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan (akibat).
Seorang yang ingin menghilangkan rasa dahaga, tidaklah mencukupkan diri hanya dengan berdo’a, akan tetapi ambillah air dan meminumnya. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa qudrah adalah di atas hikmah, dimana Allah ketika berkehendak mampu memberikan kesembuhan tanpa berobat, memberikan rasa kenyang tanpa melalui makan, dan memasukkan hambanya ke sorga meskipun tidak melakukan ketaatan.
Karena Allah adalah maha melakukan apa yang Ia kehendaki, sebagaimana firmanNya:
“وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ ”
Artinya: “Dan ketika Allah menghukumi sesuatu, maka sesungguhnya Allah akan berkata kepadanya “jadilah”, maka akan jadi “(QS. Al Baqarah:117).
Qudratullah di atas hukum sebab akibat, karena Allah adalah Maha Kuasa. Alam qudrah ini juga disebut dengan alam “كن” yang artinya “ jadilah”, karena tanpa melalui hukum sebab akibat. Maka dari itulah alam sorga ini adalah merupakan alam qudrah, karena para penghuninya ketika menginginkan sesuatu maka ia akan mendapatkannya tanpa susah payah mengusahakannya.
Ketika ingin buah-buahan, maka tidak perlu menanamnya terlebih dahulu, begitu juga dengan semua kenikmatan surga lainnya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
“وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فِي رَوْضَاتِ الْجَنَّاتِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ عِنْدَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ”
Artinya “ Dan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh maka mereka berada di taman-taman sorga, bagi mereka apa-apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhannya. Dan yang seperti itulah karunia yang sangat besar”(QS. As Syura:22). Wallahu A’lam.
@mei
Kamis, 04 Januari 2018
KHILAFAH & KHALIFAH
Rabu, 03 Januari 2018
AURAT SEORANG RIJAL DALAM MADZHAB SYAFI’I
Manakah saja aurat seorang Rijal (lelaki)? Sekarang kita akan melihat bahasan tersebut dengan melihat berbagai pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Aurat itu wajib ditutupi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah (tutuplah) auratmu kecuali pada istri atau budak yang engkau miliki.” (HR. Abu Daud no. 4017 dan Tirmidzi no. 2794. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Tidak boleh memandang aurat satu dan lainnya, termasuk sesama pria. Dalam hadits disebutkan,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Janganlah laki-laki melihat aurat laki-laki yang lain. Janganlah pula wanita melihat aurat wanita yang lain.” (HR. Muslim no. 338).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa aurat itu berarti kurang, aib dan jelek. (Al Majmu’, 3: 119).
Imam Nawawi menyatakan pula bahwa aurat itu wajib ditutupi dari pandangan manusia dan ini adalah ijma’ (kata sepakat ulama).
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa aurat pada laki-laki ada lima pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Pertama, yang lebih tepat dan didukung dalil yang kuat, aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Pusar dan lutut tidak termasuk aurat.
Syaikh Abu Hamid menyatakan bahwa terdapat perkataan dari Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Imla’ bahwa aurat laki-laki termasuk budak laki-laki adalah antara pusar dan lutut, pusar dan lutut tidak termasuk aurat.
Kedua, pusar dan lutut termasuk dalam aurat.
Ketiga, pusar aurat, sedangkan lutut tidak termasuk aurat.
Keempat, pendapat Ar Rofi’i, lutut termasuk aurat, sedangkan pusar tidak termasuk.
Kelima, yang termasuk aurat hanyalah kemaluan dan dubur saja. Pendapat terakhir ini adalah pendapat Abu Sa’id Al Ishtikhri sebagaimana diceritakan oleh Ar Rofi’i. Ini adalah pendapat yang mungkar. (Al Majmu’, 3: 121)
Pendapat yang lebih tepat dalam hal ini, aurat lelaki adalah antara pusar dan lutut sedangkan pusar dan lutut tidak termasuk aurat. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah yang lebih tepat. Sebagaimana dikemukakan oleh Asy Syairozi, dalil pendukungnya adalah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusarnya hingga lututnya.” (Al Majmu’, 3: 120-121).
Disadur dari beberapa kitab kitab fiqh.