Buya MEI dalam Ramadhan 1438 H-Tausiyah ke-3
بِسْم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلي على رسوله الكريم حامداومصليا ومسلما
Kaum muslimin yang dirahmati Allah Azza Wa Jalla. Kemarin telah kami bawakan sebuah hadist dari Salman r.a., hari ini Buya sampaikan penjelasan tentang faedah atau keutamaan hadist tersebut.
Dari sudut ilmu Mustholahul Hadist (ilmu yang menjadi alat untuk mengetahui kondisi seorang periwayat dan hadist yang diriwayatkan dari sisi diterima atau ditolak) maka hadist ini dapat dikategorikan dhaif.
Namun dapat diterima karena hadist ini mengenai fadhilah amal dan banyak dikuatkan oleh hadist lainnya maka hadist ini dapat diterima. Ada beberapa hal yang dapat kita ketahui dari hadist pada tausiyah ke-2 kemarin. Pertama, betapa besar perhatian Rasulullah SAW., sehingga secara khusus beliau berkhotbah pada akhir bulan Sya'ban, menasihati dan memperingatkan manusia agar jangan melalaikan bulan Ramadhan walaupun hanya satu detik. Dalam nasihatnya Rasulullah SAW. menjelaskan dengan panjang lebar keutamaan bulan Ramadhan kemudian memberi beberapa petunjuk yang penting untuk diperhatikan.
Pertama, hakikat Lailatul-Qadar sebagai malam yang sangat penting. Penjelasannya akan dipaparkan di lain kesempatan.
Rasulullah SAW. bersabda bahwa Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan. Dan Allah telah menjadikan qiyam, yaitu Shalat Tarawih sebagai sunnah.
Juga dapat diketahui bahwa Shalat Tarawih telah diperintahkan langsung oleh Allah.
Adapun riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW. menisbatkan sunnah Tarawih pada dirinya, maksudnya sebagai penguat perintah Allah tadi, sehingga para imam madzhab sepakat bahwa Shalat Tarawih adalah sunnah. Dan tertulis di dalam Al-Burhan, bahwa tidak seorangpun diantara kaum muslimin yang menolak kesepakatan itu kecuali kaum Rawafidh (Syi'ah). Dan Syaikh Maulana Syah Abdul Haq Muhaddits Dehlawi rah.a. dalam kitab Ma Tsabata Bis Sunnah telah menulis dari beberapa kitab fiqih bahwa jika suatu masyarakat kita meninggalkan Shalat Tarawih, maka pemerintahnya harus memerangi mereka.
Ada suatu hal penting yang harus diperhatikan, bahwa pada umumnya orang-orang berpendapat bahwa hanya dengan mendengarkan bacaan Al-Quran di masjid selama delapan atau sepuluh hari, itu telah mencukupi, lalu amalan tersebut dapat ditinggalkan. Masalah ini perlu diteliti kembali, sebab sebenarnya ada dua sunnah yang berbeda dalam masalah ini:
(1) Mendengar atau membaca seluruh Al-Quran didalam Shalat Tarawih adalah ketetapan sunnah.
(2) Shalat Tarawih pada setiap malam Ramadhan adalah sunnah.
Dengan demikian jelaslah bahwa apabila mereka mendengarkan hafalan Quran hanya beberapa hari kemudian mereka meninggalkannya, berarti mereka mengamalkan satu sunnah dan meninggalkan yang lainnya.
Bagi orang yang sedang bepergian atau keadaannya sulit untuk menunaikan Shalat Tarawih di suatu tempat, maka lebih baik ia mendengarkan Al-Quran selama beberapa hari pada awal bulan Ramadhan, sehingga tidak mengurangi bacaan Al-Quran-nya. Jika ada kesempatan melaksanakan Shalat Tarawih dimana saja, hendaknya ia melaksanakannya, sehingga (menghafal) Al-Quran dapat terlaksana, dan pekerjaan kitapun tidak terbengkalai. Setelah Rasulullah SAW. menjelaskan mengenai puasa dan tarawih, beliau menganjurkan agar menunaikan ibadah fardhu dan sunnah-sunnah lainnya. Pahala mengamalkan satu sunnah pada bulan Ramadhan sama dengan pahala beramal wajib di luar Ramadhan. Dan pahala menunaikan satu amalan wajib pada bulan Ramadhan sama dengan pahala menunaikan tujuh puluh amalan wajib di luar bulan Ramadhan.
Berkenaan dengan hal ini, kita hendaknya memikirkan keadaan ibadah kita. Dalam bulan keberkahan ini hendaknya kita berpikir, sejauh manakah perhatian kita dalam menyempurnakan kewajiban dan menambah amalan sunnah.
Perhatian kita terhadap amalan fardhu pada saat ini adalah demikian:
Kebanyakan di antara kita meneruskan tidur setelah sahur, sehingga meng-qadha shalat Shubuh, setidak-tidaknya tertinggal Shalat berjamaah. Seolah-olah inilah syukur kita, ibadah wajib yang sangat perlu diperhatikan malah kita qadha atau paling tidak kita menguranginya.
Padahal, para ahli ushul berpendapat bahwa Shalat tanpa berjamaah adalah suatu kekurangan, bahkan Rasulullah SAW. bersabda bahwa seolah-olah tidak sah shalat mereka yang tinggal di sekitar masjid kecuali di masjid. Tertulis dalam Mazharil Haq bahwa barangsiapa shalat tanpa berjamaah tanpa udzur, maka kewajiban shalatnya sudah terpenuhi, namun pahala shalatnya tidak ia dapatkan. Demikian juga dengan Shalat Maghrib. Biasanya, ketika itu orang sedang sibuk berbuka puasa, sehingga tidak perlu dibicarakan lagi tentang orang-orang yang tertinggal rakaat pertama atau takbir pertama.
Mengenai Shalat Isya, karena beranggapan untuk mengganti kebaikan-kebaikan pada Shalat Tarawih, banyak yang Shalat Isya sebelum waktunya.
Demikianlah amalan kita pada bulan Ramadhan.
Karena ingin menunaikan satu amalan wajib, tiga amalan lainnya dilalaikan. Inilah yang paling sering terjadi.
Sedangkan Shalat Dzuhur (qailulah), kita tertinggal berjamaah Dzuhur. Begitu juga dengan Shalat Ashar. Karena sibuk mempersiapkan makanan ifthar, maka tertinggallah Shalat berjamaah Ashar.
Itulah semestinya kita pikirkan, sejauh manakah kita menunaikan kewajiban-kewajiban pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini? Jika yang wajib saja begitu sulit untuk diamalkan, bagaimana dapat mengamalkan yang Sunnah? Shalat Israq dan Shalat Dhuha pada bulan Ramadhan sering kita tinggalkan karena tidur. Apalagi Shalat Awwabin, karena sibuk berbuka dan khawatir dengan Shalat Tarawih yang panjang, akhirnya Shalat Awwabin ditinggalkan, dan waktu Shalat Tahajud kita juga habis karena digunakan untuk sahur. Belum lagi "main WA" pada jaman sekarang ini yang juga banyak menyita waktu kita di bulan suci Ramadhan ini. Apabila demikian, kapankah ada kesempatan untuk melakukan Shalat Sunnah? Semua itu terjadi karena orang-orang tidak memperhatikan atau tidak ingin mengamalkannya.
Insya Allah kita termasuk golongan orang-orang yang hijrah dan dimulai di bulan Ramadhan 1438 Hijriah ini. Amin.
Selamat berpuasa.
سبحان الله وبحمده سبحانك اللهم وبحمدك أشهدأن لاإله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
Jakarta, 3 Ramadhan 1438 H.
Buya MEI (Muhammad E. Irmansyah Al-Syadzili)