Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga terlimpah ke atas utusan terpilih, Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.
TIDAK BOLEH BERBURUK SANGKA KEPADA HAMBA ALLAH.
Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya menghormati tetangganya” (H.R. Muslim).
Dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang artinya cakupan dunia sosial semakin luas yang mana kita juga berhusnudzdzan. Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami (umat Islam) orang yang tidak menyayangi yang muda dan tidak menghormati yang tua.”
ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
المائدة : ٢
Bagaimana sikap kita kepada alim ulama, apalagi ulama yang selama ini dikenal TSIQAH, SYIAK dan WARA'?
Allah SWT. dengan hikmah dan keadilan-Nya yang sempurna memuliakan sebagian hamba-Nya. Di antara sebab Allah SWT. memuliakan hamba-Nya adalah ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan. Oleh karena itulah, Allah SWT. memuliakan para ulama, yaitu orang-orang yang berilmu tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat r.hum, serta mengamalkannya.
Di antara dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keutamaan mereka disebabkan ilmu, amal, kesabaran, keikhlasan, dan keimanan mereka, adalah sebagai berikut.
Allah SWT. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
المجادلة: ١١
“...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11)
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
الزمر : ٩
“(Apakah kamu, wahai orang musyrik, yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabbnya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
فاطر : ٢٨
“...Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
السجدة : ٢٤
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah: 24)
Rasulullah saw. bersabda tentang keutamaan ulama:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham (harta). Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak (menguntungkan).” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi dan Abu Dawud.)
Ibnu Mas’ud r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ؛ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh ada hasad (berkeinginan mendapatkan) kecuali terhadap dua golongan: orang yang Allah limpahkan harta kepadanya lalu dia belanjakan di jalan yang benar, serta orang yang Allah karuniakan hikmah (ilmu) lalu dia tunaikan (amalkan) dan ajarkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan untuknya, Dia jadikan orang tersebut paham akan agama.” (HR. Al-Bukhari)
Para ulama adalah orang-orang berilmu dan dimuliakan oleh Allah SWT, sehingga kita wajib menghormati dan memuliakan mereka sebagai bukti kebenaran keimanan serta kecintaan kita kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT. berfirman:
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Rasulullah SAW. bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga hal, yang apabila dimiliki seseorang tentu dia merasakan manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada yang selain keduanya, (2) dia tidaklah mencintai seseorang melainkan karena Allah, (3) dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka." (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik r.a.)
Kita dapat merealisasikan sikap menghormati dan memuliakan para ulama dengan beberapa hal berikut:
1. Bersyukur (berterima kasih) kepada mereka karena Allah Azza Wajalla.
Karena keikhlasan dan kesabaran mereka dalam berdakwah, ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah pun tersebar hingga sampai kepada kita. Kita bisa mengetahui akidah yang benar, manhaj yang lurus, dan beribadah dengan tata cara yang bersih dari bid’ah. Oleh karena itu, sudah semestinya kita berterima kasih kepada mereka karena Allah saja.
Allah SWT. berfirman:
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Rasulullah SWT. bersabda:
لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ
“Tidak akan bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada orang lain.” (HR. Abu Dawud)
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi r.a. (wafat 258 H) berkata, “Para ulama lebih mengasihi dan menyayangi umat Muhammad SAW. daripada ayah dan ibu mereka.” Beliau ditanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Beliau SAW. menjawab, “Bapak dan ibu mereka melindungi mereka dari api dunia, sedangkan para ulama melindungi mereka dari api akhirat (neraka)..” (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits hlm. 167)
2. Menaati mereka dalam hal yang baik
Allah SWT. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’: 59)
Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul hafizhahullah mengatakan, “Yang dimaksud ulil amri adalah umara (para penguasa) dan ulama.
3. Mengikuti bimbingan dan arahan mereka
Allah SWT. berfirman menceritakan dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan ayahnya:
يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا
“Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Maryam: 42)
Ibnu Mas’ud r.a. berkata:
"Rasulullah SAW. membuat sebuah garis yang lurus lalu bersabda, “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau SAW. membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kiri garis lurus itu lalu bersabda, “Ini adalah jalan-jalan yang bercabang (darinya). Pada setiap jalan ini ada setan yang mengajak kepadanya.” Rasulullah SAW. lalu membaca firman Allah, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya….” (Al-An’am: 153) [HR. Ahmad no. 3928]
4. Mengembalikan urusan umat kepada mereka.
Allah SWT. berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)
KETUA GNPF-MUI dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
1 Syawal adalah hari kemenangan setelah umat Islam melakukan ibadah puasa sebulan penuh dibulan suci Ramadhan. Hari itu kita ber-"LEBAR"-an. Ber-lebar diri, ber-lebar hatinya dari segala kekusutan yang selama ini mungkin terjadi. Umat Islam diajarkan untuk saling memaafkan, itu adalah perintah Allah. Tidak terkecuali siapapun dia, Presiden atau Raja sekalipun.
Apapun yang terjadi selama sebelum ber-LEBAR-an itu hilang pada hari raya Idhul Fitri atau biasa disebut dengan sebutan LEBARAN karena membuka hati selebar-lebarnya lahir dan bathin.
Nah, atas dasar itulah pertemuan silaturahim antara Ketua GNPF-MUI Al-Ustadz Bachtiar Nasir (UBN) beserta rombongan dengan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo beserta menteri-menterinya. Sebuah pertemuan silaturahim yang biasa saja sebenarnya namun menjadi luar biasa karena pertemuan ini ternyata "tidak diridhoi" oleh segelintir orang yang tidak ingin melihat silaturahim diantara mereka terjadi. Apakah dari kelompok yang satu maupun kelompok lainnya.
Nampak sekali secara jelas ada mereka-mereka yang kebakaran jenggot melihat UBN beserta para kyai atau Ustadz yang lain datang ke Istana dan bisa bertemu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Di dunia Medsos banyak cacian atas pertemuan tersebut bahkan beberapa orang diantaranya ada yang Buya kenal. Bahkan ada yang sampai berani menghina atau menuduh UBN dan para kyai lainnya terima sesuatu dari penguasa dan berbagai tuduhan lainnya yang tidak pantas bahkan mengadu domba sesama ulama. Bahkan ada yang menuduh semuanya ini adalah operasi intelijen, waduh kejauhan ...?
Saya jadi berpikir, kenapa orang-orang yang maqam-nya masih kelas Al-Awwamul Ghoflatih (orang awam yang lalai) berani menghujat bahkan menuduh seorang Ulama yang dikenal ke-TSIQAH-an-nya (terpercaya), SYIAK (alim) dan WARA' (penuh kehati-hatian). Koq berani ya? Jika didalam dunia pesantren seorang santri itu harus menjaga ADAB kepada Kyai-nya, seorang salik harus menjaga adab kepada Syaikh Mursyid-nya, dan di dalam budaya Timur seseorang harus menjaga sopan santun dalam bertutur kata...., dan sebagai umat Islam harus ber-husnudzdzon atau bersangka baik kepada hamba Allah. Lho kemana itu semua?
Kunjungan silaturahim UBN dan para kyai lainnya ke Istana 1 Syawal 1438 H kemarin; Kalaulah ada yang salah di antara yang datang berkunjung dan yang dikunjungi, tentunya disana ada semangat saling memaafkan. Kalau tokh ada yang salah, tentunya harus diperbaiki. Kunjungan itu sendiri bukan sesuatu yang tabu atau terlarang atau barang haram! Koq ini jadi terbalik-balik?
Ada sebuah komentar yang menarik pagi ini dari seorang mahasiswa bernama Kartika Nur Rakhman, Ketua Umum KAMMI dan dia beri komentar sebagai berikut: "Jkw ini ada salah sbg umara, UBN dkk juga belum sekelas nabiyullah Musa as. Lalu apa yg menghalangi saling menasihati jika JKW bukanlah firaun dan UBN bukanlah nabiyullah Musa as. Sementara nabiyullah Musa as dan Firaun bisa saling bertemu?" (dikutip sesuai aslinya).
Buya tertegun membaca tulisannya pagi ini yang terlihat jernih cara berpikirnya, padahal Kartika itu pernah dimasukkan kedalam mobil tahanan polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya beberapa minggu yang lalu sebelum bulan Ramadhan lantaran dia melakukan unjuk rasa melampaui batas waktu yang diijinkan.. Tak nampak rasa dendam dalam tulisannya yang Buya terima melalui WhattsApp Message pagi ini. Hebat anak muda ini pikir Buya. Dia bisa kendalikan emosinya ketika melihat hal yang lebih prinsipiel.
Memang benar Kartika, apa yang salah dengan sebuah pertemuan? Apalagi pertemuan antara ulama dengan Presiden negaranya sendiri. Jika seandainya akan terjadi rembugan tentu bagus, tanpa mengurangi daya kritis kepada Pemerintah. Kritik itu perlu untuk sebuah keseimbangan karena jika tidak ada kritik maka dapat terjadi sebuah tirani.
Sebaliknya apa yang terjadi? Buya kemarin pagi (2 Syawal 1438 H) menerima sebuah pesan yang juga melalui WhatsApp Message yang isinya menuduh dan memfitnah UBN yang dianggap bermain dalam tikungan, telah mendapat hadiah dari penguasa atau ada deal-deal tertentu dan lain-lain yang sangat tidak pantas dilontarkan kepada seorang ulama sekelas UBN. Na'udzubillahi mindzalik.
Buya merasa perlu untuk membuat tulisan ini karena merasa sedih sebab serangan maupun cecaran kepada UBN Buya anggap sudah melampaui batas.
Tulisan ini hanya ingin menyampaikan saja kepada khalayak ramai bahwa ulama yang datang ke Istana untuk bersilaturrahim tersebut tidak serendah seperti yang dituduhkan oleh segelintir orang tersebut. Khususnya UBN yang banyak dicecar orang justru seorang ulama yang Istiqomah dan berkarakter.
Ustadz Bachtiar Nasir adalah alumni KMI (Kuliyyatul Mu'alimin al Islamiyyah) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, juga seorang hafidz Qur'an yang hafal 30 Juz Al-Qur'an dan beliau juga jebolan Madinah Islamic University, Arab Saudi.
Kawan sekamar UBN ketika di pondok Gontor dulu bernama Ustadz Suhaeri Hamzah yang lazim dipanggil Jiher (Haji Heri) menjadi saksi hidup atas perilaku UBN ketika di pondok dulu...., ya UBN adalah sosok pribadi yang biasa-biasa saja, santri yang rajin dan tidak pernah berbuat onar keributan dan tergolong santri yang rajin ketika di KMI dulu. Beliau sosok yang Istiqomah. Masih banyak lagi kesaksian dari kawan-kawan Gontor yang lain seperti DR. KH. Buchori Abdul Shamad, MA,; KH. DR. Iqbal Kilwo dll. Intinya UBN itu sosok seorang ulama yang tawadhu' dan tsiqah.
Buya sendiri juga menaruh hormat kepada UBN walaupun umurnya jauh lebih muda. Pribadinya tegas dan straight forward serta tidak suka basa-basi.
Nah, siapa saja mereka yang kebakaran jenggot? Yang pertama adalah mereka yang sejak awal berusaha mencegah Presiden Joko Widodo untuk bertemu dan berkomunikasi langsung dengan beberapa tokoh Islam ini (termasuk UBN dan kyai serta Ustadz yang hadir di istana hari Ahad kemarin). Mereka senantiasa berusaha mengisolasi Presiden agar tidak bisa berhubungan langsung dengan beberapa tokoh ulama yang tergabung di GNPF-MUI ini.
Yang kedua, adalah beberapa kelompok yang seolah-olah mendukung gerakan ulama namun sebenarnya mereka itu merasa kehilangan panggung karena ternyata dalam beberapa bulan sejak tahun lalu para ulama yang tergabung di GNPF-MUI selalu tampil didepan sehingga mereka-mereka yang selama ini tampil didepan seolah-olah kehilangan pamor. Gagal mempengaruhi GNPF-MUI akhirnya mereka berusaha mengadu domba diantara ulama. Yang jelas mereka berkepentingan agar GNPF-MUI hilang lenyap. Atau peranan GNPF-MUI diganti dengan sebuah gerakan baru dimana mereka bisa ikut ambil bagian secara aktif, tidak seperti kemarin-kemarin.
Usaha adu domba ini terasa sekali dari beberapa artikel yang menyerang GNPF-MUI dan UBN, dimana dengan mudah kita dapat membacanya ada apa dan siapa dibelakang ini semua?
Kita berdoa untuk keselamatan dan kejayaan negara dan bangsa Indonesia. Kita dukung GNPF-MUI sebagai lokomotif perubahan dalam urusan agama. Kita doakan agar UBN dan para ulama lainnya sehat wal'afiat dan dijauhkan dari serangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau provokator.
Billahi Fii Sabilil Haq.
Cirebon, 3 Syawal 1438 H
Muhammad E. Irmansyah