Jumat, 09 Juni 2017

Tausiyah ke-14 Ramadhan 1438 H

 
Gambar ilustrasi arangkadir property

Buya MEI dalam Ramadhan 1438 H. 
Tausiyah ke-14.
FIRASAT

بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلي على رسوله الكريم حامدا ومصليا ومسلما

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga terlimpah ke atas utusan terpilih, Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.

Jika semakin bersih hati seorang muslim dan semakin taat dia kepada Khalik-nya maka dia akan semakin halus dan Insya Allah akan terbuka hijabnya. Para Ahli Tasawuf mengatakan bahwa seseorang itu hilang hijabnya dalam Musyahadah dan akan mendapatkan apa yang dinamakan Sir Al Asror atau Sirul Asror atau Secret behind the Secret atau Rahasia dibalik Rahasia. Dari segi bahasa kata musyahadah berasal dari kata "syahida atau syahada" yang mempunyai arti menyaksikan. Yang menjadi obyek penyaksian dalam musyahadah tersebut adalah Al-Haq. Sementara itu kata hijab mempunyai arti penghalang. 
Entah kenapa pagi ini Buya menulis thema ini. Buya tidak akan mengupas ke arah ilmu tasawuf-nya akan tetapi lebih ke arah ilmu firasat-nya saja.

Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

اتقوا فراسة المؤمن ، فإنه ينظر بنور الله

"Hati- hatilah dengan firasat orang yang beriman, karena dia melihat dengan cahaya Allah. “(HR Tirmidzi dengan sanad lemah, dalam Al Sunan, Kitab : Tafsir, Bab : Tafsir surat Al Hijr (hadits 3127).

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

إن في ذلك لآيات للمتوسمين

“ Sesungguhnya pada peristiwa itu terdapat tanda- tanda bagi orang – orang yang “Al Mutawassimin“ (QS Al Hijr: 75).

Al Mutawasimin menurut pengertian ulama adalah orang-orang yang mempunyai firasat, yaitu mereka yang mampu mengetahui suatu hal dengan mempelajari tanda-tandanya.

Sebagaimana firman Allah:

ولو نشاء لأريناكهم فلعرفتهم بسيماهم

Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu, sehingga kamu benar- benar mengetahui mereka dengan tanda- tandanya.“ (QS Muhammad: 30).

Allah juga berfirman :

يحسبهم الجاهل أغنياء من التعفف تعرفهم بسيماهم

Orang-orang yang bodoh menyangka mereka adalah orang kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta-minta, kamu mengetahui mereka dengan tanda-tandanya.“ (QS Al-Baqarah: 273).

Banyak hal yang membuktikan bahwa orang yang beriman mampu memandang sesuatu dengan tepat dan akurat. Karena Allah memberi kekuatan kepada orang yang beriman kepada-Nya, dimana hal itu tidak diberikan kepada orang lain.

Kekuatan yang diberikan Allah tersebut, tidak hanya terbatas kepada cara memandang, melihat, memutuskan suatu perkara ataupun mencarikan jalan keluar. Akan tetapi, kekuatan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan ini. Orang yang beriman mempunyai kelebihan kekuatan dalam bersabar menghadapi ujian dan cobaan, karena dia yakin bahwa hanya Allah-lah yang mampu menyelamatkan dan memberikan jalan keluar dari ujian tersebut, sekaligus berharap dari ujian tersebut, bahwa dia akan mendapatkan pahala di sisi-Nya dan akan menambah ketinggian derajatnya di akhirat kelak. Apalagi ketika dia mendengar hadits:“Jika Allah mencintai hamba-Nya, niscaya Dia akan mengujinya“tentunya, dia akan bertambah sabar, tabah dan tegar.

Di dalam peperangan, orang yang berimanpun mempunyai stamina dan keberanian yang lebih, karena mati syahid adalah sesuatu yang didambakan. Mati mulia yang akan mengantarkannya kepada syurga yang abadi tanpa harus dihisab dahulu. Belum lagi nilai jihad yang begitu tinggi, yang merupakan “puncak“ ajaran Islam, suatu amalan yang bisa menjadi wasilah (sarana) untuk menghapuskan dosa-dosanya, walaupun dosa tersebut begitu besar, seperti yang dialami oleh Ibnu Abi Balta'ah r.a., seorang sahabat yang terbukti berbuat salah, dengan membocorkan rahasia pasukan Islam yang mau menyerang Makkah. Keikutsertaannya dalam perang Badar, ternyata mampu menyelamatkannya dari tajamnya pedang Umar ibn Khattab r.a..

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :

واتقوا الله ويعلمكم الله

Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, dan Allah mengajarimu“. (QS Al Baqarah: 282).

Maksudnya bahwa barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarinya (memberikan ilmu kepadanya). Kalau orang awam menyebutnya dengan “Ilmu Laduni“, yaitu ilmu yang diberikan Allah kepada seseorang tanpa melalui proses belajar.

Rasulullah SAW. bersabda, “Man ‘amila bimaa ‘alima waratshullahu ‘ilma maa lam ya’lam”. (Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang diketahuinya maka Allah akan memberikan kepadanya ilmu yang tidak diketahuinya.) (HR. Imam Ahmad).

Seorang sahabat Rasulullah saw. pernah berkata : “Seorang yang alim melihat fitnah (kekacauan dan sejenisnya) sebelum datang, sedang orang yang jahil melihat fitnah setelah terjadi“. Maksudnya, bahwa orang yang alim mempunyai firasat atau pengetahuan akan sesuatu yang akan terjadi, sedang orang yang bodoh dan tidak bertaqwa kepada Allah, tidak mengetahuinya kecuali setelah peristiwa tersebut terjadi. Ini bukan berarti sang alim tadi mengetahui hal-hal yang ghoib dengan begitu saja, akan tetapi artinya bahwa dia mengetahuinya dengan tanda-tanda (firasat) yang telah diberikan Allah kepadanya, atau tanda-tanda tersebut telah disebutkan Allah di dalam kitab suci-Nya dan hadits nabi-Nya.

Allah SWT. telah memberikan contoh ilmu firasat ini dengan sangat jelas, sebagaimana yang tertera pada (Q.S Al Hijr, ayat :75). Alur pembicaraan ayat tersebut, ternyata berkenaan dengan peristiwa atau kemaksiatan yang di lakukan oleh kaum Luth, suatu bangsa yang pertama kali mengajarkan “ homosex “ kepada manusia, sehingga di hukum oleh Allah dengan dibaliknya kota Soddom dan dihujani dengan batu- batu besar.

Sesungguhnya hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mempunyai firasat.

Tanda-tanda (firasat) yang digunakan oleh seorang yang alim untuk mengetahui sebuah peristiwa, bukan hanya berupa “ fahisah “ (kemaksiatan seperti zina dan sejenisnya) saja, akan tetapi tanda-tanda itu bisa juga berupa penyelewengan dari manhaj Al Quran secara umum dan penyelewengan dari disiplin ilmu yang benar, walaupun kadang-kadang penyelewengan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, seperti tidak adanya amar ma’ruf dan nahi mungkar didalam suatu masyarakat, atau bahkan ada perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar, tetapi tidak dilandasi dengan ilmu syar’i yang benar. Contohnya, bani Israil mendapatkan laknat dan adzab dari Allah karena mereka meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar.

Bahkan kesalahan seorang pemimpin dalam ber-ijtihad pun bisa dijadikan tanda bagi orang yang mempunyai firasat bahwa hal itu akan menyebabkan malapetaka. Inilah salah satu bentuk firasat yang dimiliki oleh Ibnu Umar r. a., ketika melepas Husein bin Ali r.a. walaupun dengan sangat berat hati - berangkat ke Iraq untuk memenuhi ajakan penduduk Iraq yang ingin membai’atnya menjadi Khalifah. Beliau berkata kepada Husein bin Ali r.a.:“Saya menitipkanmu kepada Allah, wahai orang yang akan terbunuh“.

Firasat Ibnu Umar mengatakan bahwa Husein akan terbunuh dalam perjalanan menuju Iraq tersebut, ternyata menjadi kenyataan. Terjadilah peristiwa mengenaskan yang ditulis sejarah dengan lumuran darah, yaitu pembantaian terhadap Husein r.a., cucu Rasulullah saw. dan rombongannya di Karbela.

Para sahabat lainnya juga mempunyai firasat yang benar, seperti yang dimiliki oleh Abu Musa Al Asy’ari r.a. ketika melihat perselisihan antara Muawiyah r.a. dan Ali ibn Abu Thalib r.a. di dalam menentukan sikap terhadap para pembunuh Khalifah Utsman bin Affan r.a. Beliau melihat perselisihan tersebut sebagai bibit fitnah yang harus dijauhi, sehingga beliau dengan beberapa sahabat lainnya, seperti Sa’ad bin Abi Waqas, Ibnu Umar, Usamah bin Zaid, Abu Bakrah, Salamah bin Akwah, Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit dan lainnya, menolak untuk ikut campur dalam peperangan antara kedua kelompok umat Islam tersebut. Dan sikap inilah yang lebih dibenarkan oleh beberapa ulama muhaqiqin dari dua kubu lainnya, yaitu kubu Ali bin Abi Tholib r.a. dan kubu Muawiyah r.a.. 

Begitu juga firasat yang dirasakan oleh Khalifah  Utsman bin Affan r.a. ketika seseorang datang menemuinya, beliau mengatakan: "Salah satu dari kalian menemuiku, sedang perbuatan zina nampak pada matanya.". Mendengar perkataan tersebut, spontas saja, yang hadir di situ mengatakan: “Apakah pernyataan tuan tersebut, merupakan wahyu dari Allah?“. Khalifah Utsman menjawab, "Bukan, akan tetapi itu adalah firasat yang benar “.

Juga, sebelum beliau meninggal dunia karena terbunuh, beliau merasakan bahwa ajalnya telah dekat dan dia akan mati terbunuh, maka beliau mengambil sikap untuk tidak mengadakan perlawanan ketika segerombalan orang masuk ke rumahnya, serta menolak bantuan yang di tawarkan oleh beberapa pengawal dan sahabatnya. Beliau ingin menghindari pertumpahan darah antara kaum muslimin, yang ujung-ujungnya, beliau jugalah yang akan menjadi korbannya. Masih banyak lagi contoh-contoh namun kita cukupkan sampai disini.

Semoga Allah Azza Wa Jalla selalu mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Billahi Fii Sabilil Haq.

سبحان الله وبحمده سبحانك اللهم وبحمدك أشهدأن لاإله إلا أنت  أستغفرك وأتوب إليك

Jakarta, 14 Ramadhan 1438 H (9/6/2017)

MEI (Muhammad E Irmansyah Al-Syadzili)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar