Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga terlimpah ke atas utusan terpilih, Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.
Alhamdulillah hari ini adalah puasa kita yang ke-27 dalam Ramadhan 1438 Hijriah ini.
Syaikh Abu al Hasan Ali asy Syadzili r.a. mengatakan, "Janganlah menyebarluaskan ilmumu dengan tujuan agar kau dipercaya orang-orang, tetapi sebarkanlah ilmumu agar kau dipercaya Allah, walaupun dengan berbagai kekurangan......
Kekurangan antara dirimu dengan Allah pada aspek yang Dia perintahkan, lebih baik daripada kekurangan yang ada antara dirimu dengan manusia pada aspek yang Dia larang. Karena kekurangan yang membawamu kepada Allah lebih baik dari pada kekurangan yang memutuskanmu dariNya."
Membangga-banggakan atau memamerkan ilmu agama yang dikuasai di hadapan manusia itu tidak ada gunanya, bahkan malah rugi. Soalnya, kita ini hidup di tengah manusia yang tidak menghargai ilmu agama. Jadi, mereka paling akan bilang “who cares” alias emang gue pikirin dengan ilmu loh?
Ilmu agama itu dipelajari untuk menumbuhkan “khasyah” (rasa takut pada Allah), bukan untuk jadi bahan pamer atau bangga-banggaan.
Ilmu dipelajari untuk diamalkan, dan sebagai landasan ibadah.
Dulu para ulama-ulama besar diterima dakwahnya oleh masyarakat karena mereka mengamalkan ilmu yang mereka dakwahkan, dan menghiasi kehidupan mereka dengan khasyah dan santun di hadapan masyarakat.
Menyebarkan ilmu hukumnya wajib. Menyembunyikan ilmu malah dosa. Dalam sebuah penggalan hadis Nabi SAW riwayat Al Bukhari dinyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda,
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Ballighuu ‘anny walau ayah” (Shahih Al Bukhari) yang secara populer diartikan dengan “Sampaikanlah olehmu sekalian dariku meski hanya satu ayat (al Qur’an).”
Halikat ilmu adalah seperti yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud r.a.: “laisal ilm bi katsratir riwayah. Innamal ilm al khasyah”
“hakikat ilmu itu bukan pada banyaknya (hafalan) riwayat, tapi hakikat ilmu adalah rasa takut pada Allah.”
Dulu, ulama salaf itu adalah orang yang ketika menyampaikan ilmu, mereka juga mengamalkannya. Sehingga manusia melihat manfaat dari ilmu tersebut. Ulama salaf membuat manusia butuh ilmu dengan keteladanan yang mereka amalkan dan kewara’an serta ketawadhu’an yang mereka mereka hiaskan pada diri-diri mereka, bukan dengan memamerkan ilmu yang mereka gapai di hadapan manusia.
Menuntut ilmu itu justru harus terus. Batasnya? Ya, kalau sudah mau masuk liang lahat -seperti kata imam Ahmad.
Yang terakhir, ada orang bertanya pada Buya Da'wah itu apa sih? Buya jawab, "Da'wah artinya mengajak dan orang yang mengajak disebut Da'i. Da'wah itu ada 2 macam, Da'wah bil lisan dan Da'wah bil hal yaitu Da'wah dengan omongan atau bicara dan satu lagi yaitu Da'wah dengan perbuatan kita sehari-hari. Menurut Buya Da'wah bil hal dengan sikap kita inilah yang paling baik walaupun Da'wah bil lisan juga diperlukan. Atau singkatnya, SATUNYA KATA DENGAN PERBUATAN."
Semakin banyak ilmu yang dicari dan diperoleh, harusnya semakin membuat kita takut pada Allah, bukan malah membuat kita semakin besar kepala.
Billahi Fii Sabilil Haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar